Merah warna sampul buku "Cerita Dari Digul" menggambarkan betapa sengsara dan susahnya hidup di Digul. Ada yang harus terpisah jauh dari keluarga. Putus cinta. Ditinggal nikah oleh istri. Serangan nyamuk malaria. Mau kabur sulit. Ada yang mencoba kabur, tetapi malah tewas di tengah jalan. Ada yang tetap hidup, tetapi malah tertangkap oleh polisi Belanda.
Buku ini disunting oleh Pramoedya Ananta Toer yang bersumber dari catatan tulisan dari pengarang yang pernah mengalami kehidupan sebagai buangan politik di Digul. Ia mengumpulkan tulisan dari Abdoe'l Xarim M.s, Wiranta, D.E. Manu Turoe, Oen Bo Tik dan ada pengarang tanpa nama.
Menarik membaca kisah di buku ini, karena ada kisah yang menggelikan namun juga sedih dan kasihan karena betapa sulitnya hidup sebagai tahanan politik. Kisah yang menyanyat hati saya adalah seorang pria tahanan politik yang harus merelakan istri tercintanya ditinggal menikah dengan lelaki lain. Bukan karena sudah tak cinta, tetapi karena harus memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya. Hmm.
Ada pula tahanan politik yang mencoba kabur dari Digul, malahan bertemu dengan orang Kayakaya (suku pedalaman). Selama menginap di desa orang Kayakaya ia malah ditaksir oleh putri raja Kayakaya dan rela melakukan pernikahan karena ada ketakutan disiksa atau dibunuh jika tidak mau menurut.
Buku yang bertebal 319 halaman ini, terdapat istilah-isitilah dalam bahasa Melayu dan juga bahasa Belanda. Buku ini bukan hanya memberi kita kenikmatan saat membaca dari kisah yang tertuang, tetapi juga menjadi bahan refleksi tentang makna kemerdekaan hidup sebagai manusia dan bangsa.

Posting Komentar untuk ""Cerita Dari Digul" Mengisahkan Orang-Orang Yang Dibuang Di Digul"